135419 KALI DIBACA

Pencairan Dana BOS Triwulan Pertama di Medan Kembali Terlambat

Pencairan Dana BOS Triwulan Pertama di Medan Kembali Terlambat

Metro Medan -Keterlambatan pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Triwulan Pertama di Medan menjadi masalah klasik. Keterlambatan tersebut bahkan kerap terjadi pada triwulan pertama setiap tahunnya.

Kata Sekretaris Serikat Guru Indonesia Kota Medan, Fahriza Marta Tanjung kepada Metromedan.co.id, Rabu (16/03/2016).

Dijelaskannya, masalah pencarian dana BOS tersebut kembali terjadi, baik ditingkat SD, SMP dan SMA baik negeri maupun swasta di Kota Medan mengalami keterlambatan pencairan dana BOS tersebut.

” Dana BOS seharusnya sudah cair di minggu ke 4 Januari atau awal Februari setiap tahunnya dan sudah bisa diterima oleh setiap sekolah. Namun, kasus keterlambatan menyebabkan hingga pertengahan Maret masih belum juga diterima pihak sekolah di Kota Medan. Dan di tahun 2016, kasus ini kembali terjadi, bahkan kabarnya seluruh sekolah tingkat SD, SMP dan SMA baik swasta maupun negeri di Kota Medan, hingga kini belum menerima dana BOS di triwulan pertama ini,” ucap Fahriza yang juga sebagai Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia ini.

Akibat keterlambatan ini, lanjutnya, mengakibatkan kesulitan operasional bagi pihak sekolah. Dengan keterlambatan ini, pihak sekolah harus berhutang terlebih dahulu kepada pihak lain atau mitra sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan, sekolah memiliki program yang harus diterapkan ke anak didik.

” Dikhawatirkan dengan seringnya keterlambatan ini, dapat mengakibatkan rawan penyelewengan baru yakni indikasi korupsi di tingkat sekolah. Karena itu, kita minta segera realisasikan dana BOS itu, jangan sampai pihak sekolah kesulitan, apalagi menjelang Ujian Nasional (UN) seperti ini. Keterlambatan ini, juga dapat mengakibatkan terhambatnya proses belajar mengajar, sasaran tak tercapai akibat program tak terlaksana dengan baik,” bebernya.

Fahriza menjelaskan, proses penyaluran dana BOS, sesuai prosedurnya yakni, dari pemerintah pusat, disalurkan ke pemerintah provinsi (pemprov), kemudian barulah di salurkan ke rekening setiap sekolah. Anggaran dana BOS minimal disalurkan ke sekolah skala kecil adalah, sebanyak 60 siswa/i. Misalnya, realisasi anggaran di sekolah tersebut sebesar Rp 800 ribu per siswa, jika di totalkan sebesar Rp 48 juta per bulan per sekolah.

” Bayangkan jika ini terlambat, sekolah harus mencari dana sebesar itu. Dana Rp 48 juta itu masih hitungan per bulan, sementara terlambat selama 3 bulan. Jadi, totalnya Rp 144 juta per triwulan per sekolah. Sehingga, sekolah harus mencari pinjaman dana sebesar itu. Total hitungan anggaran Rp 144 juta masih sekolah berskala kecil. Nah, bagaimana dengan sekolah berskala besar atau jumlah siswa yang lebih dari itu?. Inikan menjadi membuka peluang penyelewengan baru akibat keterlambatan tersebut. Setiap pinjaman pasti banyak potongan, belum lagi jika ada bunga nya, ini menjadi wajib dilakukan karena sekolah harus memenuhi program yang patut dicapai, persoalannya menjadi perputaran uang, penyelewengan pun akan rentan terjadi,” jelasnya.

Dikatakannya, indikasi keterlambatan disinyalir terganjal di pemprov. Dugaan ini, karena masalah yang sedang terjadi belakangan ini di Sumatera Utara (Sumut), terkait kasus-kasus yang menyeret para petinggi pemprov dan DPRD Sumut, apalagi, pemerintah pusat selalu memiliki komitmen setiap menjalani prosedur yang ada, terutama terkait penyaluran anggaran yang berdasarkan dari APBN.

” Memang kita tidak bisa asal beropini, apalagi kita belum tahu pasti dimana terganjalnya penyaluran dana BOS ini. Tetapi dugaan kita kuat kearah sana. Namun, jika ditanya pun persoalan ini ke provinsi pasti jawabannya seolah-olah mengalihkan ke pusat, karena dana BOS adalah wewenang pusat. Ini yang sering menjadi dilema kita semua,” ungkapnya.

Fahriza menambahkan, permasalahan lainnya yang harus menjadi perhatian seluruh pihak, yakni untuk sekolah menengah atas (SMA/SMK) khususnya negeri, disamping menerima dana BOS juga menerima dana yang berasal dari APBD. Namun, terkait dana yang berasal dari APBD, sedang dalam masa peralihan sesuai UU No 23 tahun 2014, yakni untuk yang akan datang seluruh sekolah menjadi tanggung jawab Pemprov.
Sementara, terang Fahriza, selama ini desentralisasinya di serahkan kepada setiap kabupaten/kota. Sehingga, karena merasa akan tidak menjadi tanggung jawab di masing-masing daerah lagi, pemerintah di kabupaten/kota menjadi mengurangi anggaran tersebut. Misalnya, anggaran yang selama ini diberikan sebesar Rp 1 juta per orang, malah dikurangi menjadi Rp 800 ribu per orang. Tetapi ini hanya sebagai contoh, saya tidak tahu pasti berapa anggaran setiap kabupaten/kota, karena anggaran ini sesuai dengan APBD dan PAD di masing-masing kabupaten/kota.

” Inilah yang selama ini menjadi keluhan kawan-kawan kepala sekolah di Kota Medan ini, mengapa yang menjadi korban malah siswa/i di masing-masing sekolah,” pungkasnya.

(Dari Medan, MM-01 Menayangkan)

Loading...
This site is using SEO Baclinks plugin created by Cocktail Family